Jumat, 06 April 2012

Jual beli dalam konsep islam


A.      Pengertian
Jual beli dalam konsep islam juga dikenal dengan Bai’u. Jual beli adalah kegiatan saling menukar. Secara etimologi, al-bai’ merupakan bentuk isim mashdar dari akar kata bahasa Arab bâ’a , maksudnya penerimaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata al-syirâ`. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua (jual dan beli) yang satu sama lain bertolak belakang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Dalam konteks modern, terminologi jual-beli digunakan untuk menunjukkan proses pemindahan hak milik barang atau aset yang mayoritas mempergunakan uang sebagai medium pertukaran. Dan pertukaran ini selesai dengan ijab dan qobul baik secara ucapan lisan, isyarat maupun tulisan atau dengan saling memberi. Sebagaimana pertukaran ini biasanya memerlukan kelihaian dan selesai dengan saling ridho .

B.      Dalil Disyari’atkannya Jual Beli
1.      Dalil Al Qur’an
Allah berfirman dalam surat albaqarah ayat 275 yang berbunyi:
وٲحل ١للّھ١لبيع وحرٌ م ١لرٌبٰو١
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Albaqarah:275)
2.      Dalil Sunnah
Nabi SAW pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. Beliau SAW juga bersabda yang artinya:
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits di atas, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
3.      Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah SAW hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
4.      Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain, baik itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
C.      HUKUM JUAL BELI
a)      Haram, Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
b)      Mubah Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
c)      Wajib Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.
D.     Rukun dan Syarat Jual Beli
Jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua, yaitu jual beli yang shahih dan jual beli yang batal.Apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah/shahih/halal.Sebaliknya apabila rukun dan syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.
Oleh karena itu, seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
1.      Penjual dan pembeli
Persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
a.      Berakal
b.      Dengan kehendak sendiri (tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa atau dibawah tekanan). Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
c.       Tidak mubazir(pemboros)
Dalam firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu,berilah mereka belanja”(An nisa:5)
d.     Baligh
2.      Uang dan benda yang dibeli
Yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
a.      Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
b.      Objek jual beli merupakan hak milik penuh. Rasulullah SAW  bersabda,
لا بيع ١لاٌ  فيما يملك
“Tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki.”(Riwayat Abu dawud dan At tirmidzi)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi SAW terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau.
c.       Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya
d.     Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar.
e.      Ada manfaatnya.Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
3.      Lafadz ijab dan Kabul
Ijab adalah perkataan penjual,misalnya “Saya jual barang ini sekian”.Kabul adalah ucapan si pembeli “saya beli dengan harga sekian”.Sabda Rasulullah:
١نٌما١لبيع عن تر١ض
Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka"    (Riwayat Ibnu Hibban)
Menurut ulama yang mewajibkan lafadz,lafadz itu wajib memenuhi beberapa syarat:
a.                  Keadaan ijab dan Kabul berhubungan.Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain yang belum berselang lama.
b.                  Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafadz keduanya berlainan.
c.                   Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain,misalnya “Kalau saya jadi pergi,saya jual barang ini sekian”
d.                  Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu tidak sah
E. AKAD MURABAHAH
Akar kata dari murabahah adalah ‘ribh’ yang arti nya profit atau laba. Transaksi al- murabahah adalah transaksi jual beli dengan harga pokok yang di tambah dengan ke untungan (laba) di mana harga pokok dan laba dari pihak penjual di ketahui oleh pihak  pembeli nya.
Pada transaksi ini rukun akad  nya sama dengan transaksi jual-beli yang lain nya, pada transaksi murabahah ini, objek dari akad nya harus lah jelas benda nya apa dan harga pokok berapa, serta laba nya  berapa, harus di jelaskan secara terbuka  oleh pihak penjual nya dan di ketahui oleh pihak pembeli nya, kalau harga pokok dan laba tidak di ketahui oleh pembeli maka transaksi ini bukanlah transaksi bay al -murabahah, melainkan transaksi jual-beli biasa.
E.      AKAD SALAM
Salam,  perjanjian jual beli, dengan cara pemesanan barang dengan spesifikasi tertentu yang dibayar di muka dan  penjual harus menyediakan barang tersebut dan diantarkan kepada si pembeli dengan tempat dan waktu penyerahan barang yang sudah ditentukan di muka. Dalam akad salam, barang yang diperjualbelikan harus dapat dihitung atau ditimbang beratnya, jenis, klasifikasi dan spesifikasinya juga harus jelas. Apabila barang pesanan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang sesuai dengan perjanjian di muka,  dan ternyata barang tersebut lebih baik kualitasnya si pembeli harus mau menerimanya dan si penjual tidak berhak menerima pembayaran lebih dari yang sudah dibayarkan, apabila barang tersebut lebih rendah kualitasnya, si pembeli berhak menolak untuk menerima barang tersebut dan penjual harus mengembalikan uangnya. Ada alasan tersendiri mengapa pembayaran untuk transaksi salam ini dilakukan di muka. Akad salam dilakukan untuk keperluan membeli hasil pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan dan beras. Pembayaran di muka tersebut dimaksudkan untuk memberi modal dan makanan yang cukup agar keluarga petani tersebut dapat melakukan pekerjaannya dan memenuhi pesanan dari pembelinya.
F.       AKAD ISTISHNA’
Istisna', dari akar kata bahasa arab: 'sana' yang artinya dalam bahasa Inggris “to manufacture” yaitu suatu perjanjian jual beli dengan cara memesan barang yang bukan komoditi atau barang pertanian tapi barang yang dibuat dengan mesin dan keahlian khusus, seperti perlengkapan kitchen set, kursi dan meja makan atau konstruksi bangunan, dimana barang tersebut dipesan dan dibuat sesuai dengan ketentuan yang diminta oleh pembeli dengan spesifikasi yang khusus, dibayar sebagian di muka dan bisa dengan cicilan atau langsung di bayar sekaligus apabila barang pesanan tersebut sudah selesai dan siap untuk di gunakan oleh pembelinya.

Salah satu syarat yang paling penting pada akad istisna' adalah pada bahan mentah atau raw material dari barang pesanan tersebut yang harus disediakan sendiri oleh si penjualnya. Apabila bahan mentah berasal dari si pembeli, perjanjian ini tidak bisa disebut sebagai akad istisna' tetapi menjadi akad ijarah. Apabila barang  pesanan tersebut sudah jadi tetapi tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh pembeli maka si pembeli boleh menolak untuk menerima barang tersebut dan penjual harus menggantinya dengan barang yang sesuai yang telah ditentukan oleh si pembeli sebelumnya.
 
G.     JUAL BELI  YANG TERLARANG
1.      Jual Beli ketika Panggilan Adzan
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Alloh SWT, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: Al Jumu’ah: 9).
Larangan di atas menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Demikian juga dengan shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya.
2.      Jual beli untuk kejahatan
Alloh SWT melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Alloh SWT. Hal ini berdasarkan firman Alloh SWT pada surat almaidah ayat  2.
3.      Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim
Alloh SWT melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Alloh SWT berfirman, yang artinya: “Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisa’: 141).
4.      Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan... Atau perkataan Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula. Nabi SAW bersabda, yang artinya: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.” (Mutafaq alaihi).
5.      Samsaran
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran (seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya,kecuali bila diminta untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang). Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang artinya: “Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota)”.
6.      Jual Beli dengan Cinah
Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara Сinah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan.
Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

TURUNYA QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF


A.   Pengertian Tujuh Huruf
Para ulama  berbeda pendapatan dalam menafsirkan tujuh huruf  ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga ibn Hayyan mengatakan: “ahli ilmu berbeda pendapat tentang  arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat’ namun kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpah tindih.  Disini kami mengemukakan beberapa  pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
a.      Sebagaian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu, dan jika tidak terdapat perbedaan, maha Qur’an hanya mendapatkan satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu, dikatakan  bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa, Quraisy, Huzali, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Menurut Abu Hatim as-sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy,  Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d bin Bakar.
b.      Suatu kaum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an diturunkan. Dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, yaitu bahas paling fasih dikalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy, sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqid, Hawazin, kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur’an mencangkup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat yang sebelumnya; karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Berkata Abu ‘Ubaid:”yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran ddalam Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagaian yang lain bahasa Huzai, Hawazin, yaman, dan lain-lain.” Dan katanya pula; ”sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur’an.
c.       Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu: Amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita), dan masal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih da amsal.
عن ابن مسعود عن النبيي صلى الله عليه وسلم قل : كان الكتاب الأول ينزل من باب واحد, ونزل القران من سبعة ابواب, على سبعة احرف: زجر وامر وحلال وحرام ومحكم ومتشابه وامثال. (اخرجه الحكم والبيهقلى)

“Dari Ibn Mas’ud, nabi berkata: kitab umat terdahulu diturunkan ddari satu pintu dan ddengan satu huruf. Sedangkan Qur’an diturunkan melalui tujuh huruf, yaitu: zaj (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal.
d.      Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
a)      Ikhtilaful asma’ (perbedaan kata benda) dalam bentuk mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, jamak dan ta’nis.
b)      Perbedaan dalam segi i’rab (harkat akhir)
c)      Perbedaan dalam tasrif.
d)      Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan).
e)      Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf.
f)       Perbedaan karena ada penambahaan dan pengurangan. Ikhtilaf dengan penambahan (ziyadah).
g)      Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan taqiq (menipiskan), fatah dan imalah, izhar dan idgam, hamzah dan tashil, isyman, dan lain-lain.
e.      Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah  (maksudnya, bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafaz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti “tujuh puluh” dalam bilangan puluhan, dan “tujuh ratus” dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untukmenunjukkan bilangan tertentu.
f.        Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.

B.   Tarjih dan Analisis

Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama (a), yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. Misalnya: aqbil, ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafaz-lafaz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, ibn Jarir, Ibn wahb dan lainya. Ibn ‘Abdil Barr menisbahkan pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hais Abu Bakrah berikut:

انّ جبريل قال: يا محمّد, اقرأ القران على حرف, فقال ميكا ئيل: استزدهز فقال: على حرفين, حتّى بلغ ستّة اوسبعة احرف, فقال: كلّهاشاف كاف, مالم يختم اية عذاب باية رحمة, اواية رحمة باية عذاب, كقولك: هلمّ وتعال. واقبل واذهب واسرع وعجل

Artinya; Jibril mengatakan : ‘ Wahai Muhammad, bacalah qur’an dengan satu huruf .’ Lalu Mika’il mengatakan : ‘Tambahklah.’ Jibril berkata lagi: ‘dengan dua huruf !’Jibril terus menambahnya hingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata: ‘Semua itu obat penawar yang memadai, selama ayat adzab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab.seperi kata-kata: halumma, ta’ala, aqbil, izhab, asra’  dan ‘ajal.’’
Berkata Ibn ‘Abdil Barr: “maksud hadis ini hanyalah sebagai contoh bagi huruf-huruf yang dengannya Qur’an diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengerianya, tetapi berbeda bunyi ucapanya. Dan tidak satu pun diantaranya yang mempunyai makna yang saling berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lain secara kontradiktif dan berlawanan,seperti rahmat yang merupakan lawan dari azab.
Pendapat yang kedua (b)-yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujum macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan nama Qur’an diturunkan; dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Qur’an telah mencangkupnya – dapat dijawab bahwa bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, disamping itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim kedua-duanya adalah orang Quraisy yang mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qiraat (bacaan) kedua orang itu berbeda, dan mustahil Umar mengingkari bahasa Hisyam(tetapi teryata Umar mengingkarinya). Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafaz-lafaz mengenai makna yang sama dan itulah pendapat yang kita kukuhkan.
Setelah mengemukakan dalil-dalil untuk membatalkan pendapat kedua ini, Ibn jarir at-Tabari mengatakan : tujuh huruf yang dengannya Qur’an diturunkan adalah tujuh dialeg bahasa dalam suatu huruf dan satu kata karena perbedaan lafaz tetapi sama maknanya
Tabari menjawab pertanyaan yang mungkin akan timbu muncul,” di manakah kita jumpai di dalam kitab Allah satu huruf yang dibaca dengan tujuh bahasa yang berbeda-beda lafaznya, tetapi sama maknanya?”dengan mengatakan:” kami tidak mendakwahkan hal itu masih ada sekarang ini”ia juga menjawab pertanyaan yang diandaikan lainnya, “mengapa pula huruf-huruf yang enam itu tidak ada?” ia menerangkan: “ Umat islam disuruh untuk menghafalkan Qur’an, dan diberi kebebasan untuk memilih dalam bacaan dan hafalannya salah satu dari ketujuh huruf itu sesuai dengan keinginannya sebagaimana diperintahkan. Namun pada masa Usman keadaan menuntut agar bacaan itu ditetapkan dengan satu huruf saja karena dikhawatirkan akan timbul fitnah (bencana). Kemudian hal ini diterima secara bulat oleh umat islam, suatu umat yang dijamin bebas dari kesesatan.
Pendapat ketiga (c) – yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal (makna), yaitu: amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal – dijawab, bahwa zahir hadis-hadis tersebut menunjukan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat; padahal sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram di dalam suatu ayat, dan keleluasaan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal, penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
Dalam hais-hadis terdahulu ditegaskan bahwa para sahabat yang berbeda bacaan itu meminta keputusan kepada Nabi, lalu setiap orang diminya menyampaikan bacaannya masing-masing, kemudian Nabi membenarkan semua bacaan mereka meskipun bacaan-bacaan itu berbeda satu dengan yang lain, sehingga keputusan nabi ini menimbulkan keraguan di sebagaian mereka. Maka kepada mereka yang masih ragu tehadap keputusan itu Rasulullah berkata; “sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf.
Pendapat keempat (d) – yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf. – dijawab, bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan di terima, tetapi ia tidak dapat tegak di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna sama. Di samping itu sebagian dari perubahan atau perbedaan yang mereka kemukakan pun hanya terdapat dalam qirat-qirat ahad. Padahal, tidak dipersilahkan lagi, bahwa segala sesuatu yang berupa Qur’an itu haruslah mutawatir. Begitu juga sebagian besar perbedaan-perbedaan itu hanya mengacu kepada bentuk kata atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan perbedaan lafaz, seperti perbedaan dalam segi I’rab, tasrif, tafkhim, tarqiq, fathah, imalah, izhar, isymam. Perbedaan semacam ini tidak termasuk perbedaan yang bemacam-macam dalam lafaz dan makna; sebab cara-cara yang berbeda dalam pengucapan sesuatu lafaz tidak mengeluarkannya dari statusnya sebagai lafaz yang satu.
Para pendukung pendapat keempat memandang bahwa mushaf-mushaf usmani mencangkup ketujuh huruf tersebut seluruhnya, dengan pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mengandung huruf-huruf yang dimungkinkan oleh bentuk tulisannya.
Pendapat kelima (e) yang menyatakan bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas hadis menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas; seperti “ jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesaknya agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf,”dan sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk membaca Qur’an dengan satu huruf. Lalu berulang-ulang aku meminta kepada-Nya untuk memberi kemudahan kepada umatku. Maka ia mengutusku agar membaca Qur’an denngan tujuh huruf. Jelaslah hadis-hadis ini menunjukkan hakikat bilangan tertentu yang terbatas pada tujuh.
Pendapat keenam (f) yang menyatakan maksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat di jawab, bahwa Qur’an itu bukanlah qiraat. Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedangkan qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafaz-lafaz wahyu tersebut, seperti meringankan (takhfif), memberatkan (tasqil), membaca panjang dan sebagainya.
Berkata Abu Syamah: “suatu kaum mengira bahwa qiraat tujuh yang ada sekarang ini itulah yang dimaksudkan dengan tujuh huruf dalam hadis. Asumsi ini sangat bertentangan dengan kesepakatan ahli ilmu, dan yang beranggapan seperti itu hanyalah sebagian orang-orang bodoh saja.
Lebih lanjut at-Tabari mengatakan: “Adapun perbedaan bacaan seperti merafa’kan sesuatu huruf, menjarkan, menasabkan, mensukunkan, mengharakatkan, dan memindahkannya ke tempat lain dalam bentuk yang sama; semua itu tidak termasuk dalam pengertian ucapan Nabi,”aku diperintah untuk membaca  Qur’an dengan tujuh huruf”; sebab sebagaimana diketahui, tidak ada satu huruf pun dari huruf-huruf Qur’an yang perbedaan bacaannya, menurut pengertian ini, menyebabkan seseorang telah kafir karena meragukannya, berdasarkan pendapat salah seorang ulama – padahal Nabi mensinyalir keraguan tentang huruf itu sebagai suatu kekafiran  - itu  termasuk salah satu segi yang dipertentangkan oleh mereka yang berselisih seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat.
Jelaslah bagi kita bahwa pendapat pertama (a) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa orang Arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan di dukung oleh bukti-bukti yang sahih. Salah satunya hadis dari Ubai bin Ka’b, yang artinya:
“Rasulullah berkata kepadaku: “ sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar membaca Qur’an dengan satu huruf. Lalu berkata padaku:’Wahai Tuhanku, berilah keringan kepada umatku. Kemudian ia memerintahkan kepadaku dengan firman-Nya; bacalah dengan dua huruf: kemudian aku berkata lagi: “ Wahai Tuhanku, ringankanlah umatku. Maka ia pun memerintahkan kepadaku agar membacanya dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga. Semua obat dan penawar dan memadai.
At-Tabari berkata: “yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa, seperti yang telah kita katakan, dan tujuh pintu surga adalah makna-makna yang terkandung didalamnya, yaitu: amr, nahyu, tarqih, tarhib, dan masal, yang jika seorang mengamalkanya sampai dengan batas-batasnya yang telah ditentukan, maka ia berhak masuk surga. Sedangkan makna semuanya obat penawar dan memadai adalah sebagaimana difirmankan Allah Yang Maha Terpuji tentang sifat-sifat Qur’an, yang artinya:
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus [10]57).jadi, Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai obat penawar bagi orang-orang mukmin, yang dengan nasihat-nasihatnya mereka sembuhkan penyakit yang menimpa hati mereka yaitu bisikan setan dan getaran-getarannya. Karena itulah makna Qur’an telah memadai dan mereka tidak memerlukan lagi nasihat yang lain, dengan penjelasan ayat-ayat-Nya.

C.    Hikmah Turunya Qur’an dengan Tujuh Huruf
Hikmah diturunkannya Qur’an dengan tujuh huruf dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun lebih terbiasa menghafal syari’at, apabila mentradisikannya.
2.      Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab. Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah  menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab dapat mengalunkan Huruf-huruf dan kata-katanya sesuai irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur’an sebagai mukjizat yang ditangtangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri
3.      Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan dari padanya berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh karen itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraatbagi ketujuh huruf ini.