Jumat, 06 April 2012

Jual beli dalam konsep islam


A.      Pengertian
Jual beli dalam konsep islam juga dikenal dengan Bai’u. Jual beli adalah kegiatan saling menukar. Secara etimologi, al-bai’ merupakan bentuk isim mashdar dari akar kata bahasa Arab bâ’a , maksudnya penerimaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata al-syirâ`. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua (jual dan beli) yang satu sama lain bertolak belakang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Dalam konteks modern, terminologi jual-beli digunakan untuk menunjukkan proses pemindahan hak milik barang atau aset yang mayoritas mempergunakan uang sebagai medium pertukaran. Dan pertukaran ini selesai dengan ijab dan qobul baik secara ucapan lisan, isyarat maupun tulisan atau dengan saling memberi. Sebagaimana pertukaran ini biasanya memerlukan kelihaian dan selesai dengan saling ridho .

B.      Dalil Disyari’atkannya Jual Beli
1.      Dalil Al Qur’an
Allah berfirman dalam surat albaqarah ayat 275 yang berbunyi:
وٲحل ١للّھ١لبيع وحرٌ م ١لرٌبٰو١
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Albaqarah:275)
2.      Dalil Sunnah
Nabi SAW pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. Beliau SAW juga bersabda yang artinya:
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits di atas, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
3.      Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah SAW hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
4.      Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain, baik itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
C.      HUKUM JUAL BELI
a)      Haram, Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
b)      Mubah Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
c)      Wajib Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.
D.     Rukun dan Syarat Jual Beli
Jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua, yaitu jual beli yang shahih dan jual beli yang batal.Apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah/shahih/halal.Sebaliknya apabila rukun dan syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.
Oleh karena itu, seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
1.      Penjual dan pembeli
Persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
a.      Berakal
b.      Dengan kehendak sendiri (tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa atau dibawah tekanan). Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
c.       Tidak mubazir(pemboros)
Dalam firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu,berilah mereka belanja”(An nisa:5)
d.     Baligh
2.      Uang dan benda yang dibeli
Yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
a.      Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
b.      Objek jual beli merupakan hak milik penuh. Rasulullah SAW  bersabda,
لا بيع ١لاٌ  فيما يملك
“Tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki.”(Riwayat Abu dawud dan At tirmidzi)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi SAW terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau.
c.       Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya
d.     Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar.
e.      Ada manfaatnya.Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
3.      Lafadz ijab dan Kabul
Ijab adalah perkataan penjual,misalnya “Saya jual barang ini sekian”.Kabul adalah ucapan si pembeli “saya beli dengan harga sekian”.Sabda Rasulullah:
١نٌما١لبيع عن تر١ض
Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka"    (Riwayat Ibnu Hibban)
Menurut ulama yang mewajibkan lafadz,lafadz itu wajib memenuhi beberapa syarat:
a.                  Keadaan ijab dan Kabul berhubungan.Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain yang belum berselang lama.
b.                  Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafadz keduanya berlainan.
c.                   Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain,misalnya “Kalau saya jadi pergi,saya jual barang ini sekian”
d.                  Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu tidak sah
E. AKAD MURABAHAH
Akar kata dari murabahah adalah ‘ribh’ yang arti nya profit atau laba. Transaksi al- murabahah adalah transaksi jual beli dengan harga pokok yang di tambah dengan ke untungan (laba) di mana harga pokok dan laba dari pihak penjual di ketahui oleh pihak  pembeli nya.
Pada transaksi ini rukun akad  nya sama dengan transaksi jual-beli yang lain nya, pada transaksi murabahah ini, objek dari akad nya harus lah jelas benda nya apa dan harga pokok berapa, serta laba nya  berapa, harus di jelaskan secara terbuka  oleh pihak penjual nya dan di ketahui oleh pihak pembeli nya, kalau harga pokok dan laba tidak di ketahui oleh pembeli maka transaksi ini bukanlah transaksi bay al -murabahah, melainkan transaksi jual-beli biasa.
E.      AKAD SALAM
Salam,  perjanjian jual beli, dengan cara pemesanan barang dengan spesifikasi tertentu yang dibayar di muka dan  penjual harus menyediakan barang tersebut dan diantarkan kepada si pembeli dengan tempat dan waktu penyerahan barang yang sudah ditentukan di muka. Dalam akad salam, barang yang diperjualbelikan harus dapat dihitung atau ditimbang beratnya, jenis, klasifikasi dan spesifikasinya juga harus jelas. Apabila barang pesanan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang sesuai dengan perjanjian di muka,  dan ternyata barang tersebut lebih baik kualitasnya si pembeli harus mau menerimanya dan si penjual tidak berhak menerima pembayaran lebih dari yang sudah dibayarkan, apabila barang tersebut lebih rendah kualitasnya, si pembeli berhak menolak untuk menerima barang tersebut dan penjual harus mengembalikan uangnya. Ada alasan tersendiri mengapa pembayaran untuk transaksi salam ini dilakukan di muka. Akad salam dilakukan untuk keperluan membeli hasil pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan dan beras. Pembayaran di muka tersebut dimaksudkan untuk memberi modal dan makanan yang cukup agar keluarga petani tersebut dapat melakukan pekerjaannya dan memenuhi pesanan dari pembelinya.
F.       AKAD ISTISHNA’
Istisna', dari akar kata bahasa arab: 'sana' yang artinya dalam bahasa Inggris “to manufacture” yaitu suatu perjanjian jual beli dengan cara memesan barang yang bukan komoditi atau barang pertanian tapi barang yang dibuat dengan mesin dan keahlian khusus, seperti perlengkapan kitchen set, kursi dan meja makan atau konstruksi bangunan, dimana barang tersebut dipesan dan dibuat sesuai dengan ketentuan yang diminta oleh pembeli dengan spesifikasi yang khusus, dibayar sebagian di muka dan bisa dengan cicilan atau langsung di bayar sekaligus apabila barang pesanan tersebut sudah selesai dan siap untuk di gunakan oleh pembelinya.

Salah satu syarat yang paling penting pada akad istisna' adalah pada bahan mentah atau raw material dari barang pesanan tersebut yang harus disediakan sendiri oleh si penjualnya. Apabila bahan mentah berasal dari si pembeli, perjanjian ini tidak bisa disebut sebagai akad istisna' tetapi menjadi akad ijarah. Apabila barang  pesanan tersebut sudah jadi tetapi tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh pembeli maka si pembeli boleh menolak untuk menerima barang tersebut dan penjual harus menggantinya dengan barang yang sesuai yang telah ditentukan oleh si pembeli sebelumnya.
 
G.     JUAL BELI  YANG TERLARANG
1.      Jual Beli ketika Panggilan Adzan
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Alloh SWT, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: Al Jumu’ah: 9).
Larangan di atas menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Demikian juga dengan shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya.
2.      Jual beli untuk kejahatan
Alloh SWT melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Alloh SWT. Hal ini berdasarkan firman Alloh SWT pada surat almaidah ayat  2.
3.      Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim
Alloh SWT melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Alloh SWT berfirman, yang artinya: “Alloh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisa’: 141).
4.      Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan... Atau perkataan Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula. Nabi SAW bersabda, yang artinya: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.” (Mutafaq alaihi).
5.      Samsaran
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran (seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya,kecuali bila diminta untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang). Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang artinya: “Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota)”.
6.      Jual Beli dengan Cinah
Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara Сinah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan.
Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Tidak ada komentar: