Senin, 02 April 2012

Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam

A.    Definisi dan Perilaku Produksi
Produksi merupakan proses untuk menghasilkan suatu barang dan jasa, atau proses peningkatan utility (nilai) suatu benda. Dalam istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi (amal/kerja, modal, tanah) dalam waktu tertentu.
Beberapa nilai yang dapat dijadikan sandaran oleh produsen sebagai motivasi dalam melakukan produksi, yaitu:
»        Profit sebagai target utama dalam produksi, namun dalam system ekonomi islam perolehan secara halal dan adil dalam profit merupakan motifasi utama dalam berproduksi.
»        Produsen harus memperhatikan dampak social (social return) sebagai akibat atas proses produksi yang dilakukan. Dampak negative dari proses produksi yang berimbas pada masyarakat  dan lingkungan, seperti limbah produksi, pencemaran lingkungan, kebisingan, maupun gangguan lainnya. Produsen muslim tidak akan memproduksi barang dan jasa yang bersifat tersier dan skunder selama kebutuhan primer masyarkat terhadap barang dan jasa belum terpenuhi.
»        Produsen harus memperhatikan nilai-nilai spiritualisme, dimana nilai tersebut harus dijadikan sebagai penyeimbang dalam melakukan produksi. Dalam menetapkan harga barang dan jasa harus berdasarkan nilai-nilai keadilan. Upah yang diberikan kepada karyawan harus mencerminkan daya dan upaya yang telah dilakukan oleh karyawan, sehingga tidak terdapat pihak yang tereksploitasi. 
Dalam teori manajemen, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh produsen dalam menjaga eksistensi dan keberlangsungan perusahaan. Langkah tersebut adalah: planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC).
            Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Bila faktor produksi tidak ada maka tidak ada proses produksi. Produksi yang dihasilkan dengan menggunakan faktor alam disebut produksi alami. Sedangkan jika produksi dilakukan dengan memanipulasi faktor- faktor produksi disebur produksi rekayasa.
            Produksi yang bersifat alami tidak dapat dikontrol, baik dari sisi efisiensi maupun efektivitasnya sebab ia bersifat eksternal. Kelebihan dan kekurangan produksi alami merupakan suatu yang seharusnya diterima oleh pemakai. Sedangkan produksi rekayasa adalah produksi yang bersifat internal. Produksi seperti ini dapat dikontrol oleh pemakai. Efektivitas dan efisiensi produksi dapat diatur dengan menggunakan teknologi.
Selain produksi mempunyai keterkaitan spiritual (ridha Allah), juga terkait dengan kemaslahatan masyarakat. Seperti halnya sesuatu yang membuat sebuah kewajiban tidak sempurna tanpannya, maka sesuatu itu wajib adanya.
            Berbagai usaha yang dipandang dari sudut ekonomi mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari keuntungan maksimum dengan jalan mengatur penggunaan faktor-faktor produksi seefisien mungkin, sehingga usaha untuk memaksimumkan keuntungan dapat dicapai dengan cara yang paling efisien. Dalam prakteknya bagi setiap perusahaan pemaksimuman keuntungan belum tentu merupakan satu-satunya tujuan. Seorang pengusaha muslim terikat dengan beberapa aspek dalam melakukan produksi, antara lain:
»        Berproduksi merupakan ibadah, sehingga seorang muslim berproduksi sama artinya dengan mengaktualisasikan keberadaan Allah SWT yang telah diberikan kepada manusia.
»        Faktor produksi yang digunakan untuk menyelenggarakan proses produksi sifatnya tidak terbatas, manusia perlu berusaha mengoptimalkan segala kemampuannya yang telah diberikan Allah SWT. Seorang muslim tidak akan kecil hati bahwa Allah tidak akan memberikan rezeki kepadanya.
»        Seorang muslim yakin bahwa apapun yang diusahakannya sesuai dengan ajaran Islam tidak akan membuat hidupnya kesulitan.
»        Berproduksi bukan semata-mata karena keuntungan yang diperolehnya tetapi uga seberapa penting manfaat dari keuntungan tersebut untuk kemaslahatan umum. Dalam konsep islam harta adalah titipan Allah yang dipercayakan untuk diberikan kepada orang-orang yang tertentu, harta bagi seorang muslim bermakna amanah.
»        Seorang muslim menghindari praktek produksi yang mengandung unsur haram atau riba, pasar gelap dan spekulasi
            Dalam usahanya untuk meproduksi barang-barang yang diperlukan masyarakat dan memperoleh keuntungan maksimum dari usaha tersebut. Masalah pokok yang harus dipecahkan oleh produsen adalah bagaimana komposisi dari faktor-faktor produksi yang digunakan, dan untuk masing-masing faktor produksi tersebut berapakah jumlah yang akan digunakan. Di dalam memcahkan persoalan ini ada dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu:
»        Komposisi faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk menciptakan tingkat produksi yang tinggi? Atau
»        Komposisi faktor produksi yang bagaimana seorang muslim untuk meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan untuk mencapai suatu tingkat produksi tertentu?
            Di dalam memikirkan aspek yang kedua, sebagai seorang muslim harus memperhatikan:
»        Besarnya pembayaran kepada faktor produksi tambahan yang akan digunakan dan
»        Besarnya pertambahan hasil penjualan yang diwujudkan oleh faktor produksi yang ditambah tersebut.
B.     Tujuan produksi
            Tujuan produksi adalah menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan individu dan kesejahteraan kolektif. Setiap muslim harus bekerja secara maksimal dan optimal, sehingga tidak hanya dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi harus dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi harus dapat mencukupi kebutuhan anak dan keluarganya.
            Menurut chapra tujuan produksi adalah memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dan menjamin setiap orang yang mempunyai standar hidup manusiawi, terhormat dan sesuai engan martabat manusia sebagai khalifah.
C.    Faktor Produksi
Di kalangan para ekonomi Muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor produksi, karena terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Menurut Al-Maududi dan Abu-Su’ud, faktor produksi terdiri atas amal/kerja (labor), tanah (land), dan modal (capital). Uraian ini berbeda dengan M.A. Mannan yang menyatakan bahwa faktor produksi hanya berupa amal/kerja dan tanah. Menurutnya capital (modal) bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, karena capital (modal) bukanlah merupakan faktor dasar. Menerut An-Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen, yaitu amal (labor) dan capital. Abu Sulaiman menyatakan, amal bukanlah merupakan faktor produksi. Dalam syariah islam, dasar hukum transaksi (muamalah) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukannya larangan dalam nash atau dalil.
a.      Amal/Kerja (Labor)
Amal adalah segala daya dan upaya yang dicurahkan dalam menghasilkan dan menigkatkan kegunaan barang dan jasa, baik dalam bentuk teoretis (pemikiran, ide, konsep) maupun aplikatif (tenaga, gerakan) yang sesuai dengan syariah. Pada dasarnya, ada dua tujuan yang harus dicapai oleh produsen dalam melakukan pekerjaan, yaitu materialisme dengan konotasi ultinity, dan spiritualisme dengan konotasi ibadah.
b.      Bumi/Tanah (Land)
Land (tanah) meliputi segala sesuatu yang ada di dalam dan di luar ataupun disekitar bumi yang menjadi sumber-sumber ekonomi, seperti pertambangan, pasir, tanah pertanian, sungai dan lain sebagainnya. Bumi biasa diberdayakan untuk pertanian, perternakan, pendirian kawasan industry, perdagangan, sarana transportasi, ataupun pertambangan.
Mekanisme pemberdayaan bumi, ulama fiqh berbeda pendapat tentang mekanisme pemberdayaan lahan pertanian oleh orang lain dan penentuan return yang berhak diperoleh masing-masing pihak. Sebagian berpendapat, bahwa mekanisme yang tepat adalah muzara’ah. Akan tetapi, ulama yang lain menolaknya dan menawarkan konsep penyewaan dengan sistem uang.
Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik tanah memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara  Dengan imbalan bagian tertentu, misalnya setengah atau sepertiga dari hasil panen sesuai dengan kesepakatan.
c.       Modal (Capital)
Capital adalah bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti mesin, alat produksi, equipment (peralatan), gedung, fasilitas kantor, transportasi dan lain sebagainya. Dalam kapitalisme capital berhak mendapat bunga sebagai kompensasi pinjaman (return of loans).
Berdasarkan jangka waktu penggunaan capital, asset (kekayaan) biasa dibedakan menjadi dua macam, yaitu fixed asset (asset tetap) dan variabel asset (asset berubah). Fised asset adalah capital yang digunakan untuk beberapa proses produksi dan tidak terjadi perubahan seperti bangunan, mesin, dan peralatan. Variabel asset adalah capital yang digunakan untuk proses produksi dan akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan proses produksi yang dilakukan seperti labor, sumber energi, dan lainnya.
D.     prinsip produksi
a.       Berproduksi dalam lingkaran halal
Dalam sistem ekonomi islam tidak semua barang dapat diproduksi dan konsumsi. Oleh sebab itu, dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang haram. Produk yang dihasilkan harus memberikan manfaat yang baik, tidak mudharat atau membahayakan bagi konsumen. Baik dari sisi kesehatan maupun modal, seperti hadits nabi dari ibnu majah:
“wahai manusia, bertakwalah pada Allah, berbuatlah yang indah dalam mencari rezeki, sesungguhnya setiap orang tidak aan mati sampai dicukupi rezekinya sekalipun terlambat, maka bertakwalah pada Allah, berbuatlah yang indah dalam mencari rezeki, ambil yang halal jauhi yang haram.
b.      Menjaga sumber produksi
Kewajiban setiap muslim adalah memelihara lingkungan termasuk sumber-sumber produksi, dan tidak boleh berlebihan dalam mempergunakannya. Begitupun dengan tanah dan kekayaan yang terkandung didalamnya, harus dipergunakan dengan cara yang baik dan hemat, ddemi keberlangsungan semua generasi.
Daftar pustaka
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Yogyakarta. 2007
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, UIN- Malang Press, Malng.2008A.    Definisi dan Perilaku Produksi
Produksi merupakan proses untuk menghasilkan suatu barang dan jasa, atau proses peningkatan utility (nilai) suatu benda. Dalam istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi (amal/kerja, modal, tanah) dalam waktu tertentu.
Beberapa nilai yang dapat dijadikan sandaran oleh produsen sebagai motivasi dalam melakukan produksi, yaitu:
»        Profit sebagai target utama dalam produksi, namun dalam system ekonomi islam perolehan secara halal dan adil dalam profit merupakan motifasi utama dalam berproduksi.
»        Produsen harus memperhatikan dampak social (social return) sebagai akibat atas proses produksi yang dilakukan. Dampak negative dari proses produksi yang berimbas pada masyarakat  dan lingkungan, seperti limbah produksi, pencemaran lingkungan, kebisingan, maupun gangguan lainnya. Produsen muslim tidak akan memproduksi barang dan jasa yang bersifat tersier dan skunder selama kebutuhan primer masyarkat terhadap barang dan jasa belum terpenuhi.
»        Produsen harus memperhatikan nilai-nilai spiritualisme, dimana nilai tersebut harus dijadikan sebagai penyeimbang dalam melakukan produksi. Dalam menetapkan harga barang dan jasa harus berdasarkan nilai-nilai keadilan. Upah yang diberikan kepada karyawan harus mencerminkan daya dan upaya yang telah dilakukan oleh karyawan, sehingga tidak terdapat pihak yang tereksploitasi. 
Dalam teori manajemen, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh produsen dalam menjaga eksistensi dan keberlangsungan perusahaan. Langkah tersebut adalah: planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC).
            Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Bila faktor produksi tidak ada maka tidak ada proses produksi. Produksi yang dihasilkan dengan menggunakan faktor alam disebut produksi alami. Sedangkan jika produksi dilakukan dengan memanipulasi faktor- faktor produksi disebur produksi rekayasa.
            Produksi yang bersifat alami tidak dapat dikontrol, baik dari sisi efisiensi maupun efektivitasnya sebab ia bersifat eksternal. Kelebihan dan kekurangan produksi alami merupakan suatu yang seharusnya diterima oleh pemakai. Sedangkan produksi rekayasa adalah produksi yang bersifat internal. Produksi seperti ini dapat dikontrol oleh pemakai. Efektivitas dan efisiensi produksi dapat diatur dengan menggunakan teknologi.
Selain produksi mempunyai keterkaitan spiritual (ridha Allah), juga terkait dengan kemaslahatan masyarakat. Seperti halnya sesuatu yang membuat sebuah kewajiban tidak sempurna tanpannya, maka sesuatu itu wajib adanya.
            Berbagai usaha yang dipandang dari sudut ekonomi mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari keuntungan maksimum dengan jalan mengatur penggunaan faktor-faktor produksi seefisien mungkin, sehingga usaha untuk memaksimumkan keuntungan dapat dicapai dengan cara yang paling efisien. Dalam prakteknya bagi setiap perusahaan pemaksimuman keuntungan belum tentu merupakan satu-satunya tujuan. Seorang pengusaha muslim terikat dengan beberapa aspek dalam melakukan produksi, antara lain:
»        Berproduksi merupakan ibadah, sehingga seorang muslim berproduksi sama artinya dengan mengaktualisasikan keberadaan Allah SWT yang telah diberikan kepada manusia.
»        Faktor produksi yang digunakan untuk menyelenggarakan proses produksi sifatnya tidak terbatas, manusia perlu berusaha mengoptimalkan segala kemampuannya yang telah diberikan Allah SWT. Seorang muslim tidak akan kecil hati bahwa Allah tidak akan memberikan rezeki kepadanya.
»        Seorang muslim yakin bahwa apapun yang diusahakannya sesuai dengan ajaran Islam tidak akan membuat hidupnya kesulitan.
»        Berproduksi bukan semata-mata karena keuntungan yang diperolehnya tetapi uga seberapa penting manfaat dari keuntungan tersebut untuk kemaslahatan umum. Dalam konsep islam harta adalah titipan Allah yang dipercayakan untuk diberikan kepada orang-orang yang tertentu, harta bagi seorang muslim bermakna amanah.
»        Seorang muslim menghindari praktek produksi yang mengandung unsur haram atau riba, pasar gelap dan spekulasi
            Dalam usahanya untuk meproduksi barang-barang yang diperlukan masyarakat dan memperoleh keuntungan maksimum dari usaha tersebut. Masalah pokok yang harus dipecahkan oleh produsen adalah bagaimana komposisi dari faktor-faktor produksi yang digunakan, dan untuk masing-masing faktor produksi tersebut berapakah jumlah yang akan digunakan. Di dalam memcahkan persoalan ini ada dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu:
»        Komposisi faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk menciptakan tingkat produksi yang tinggi? Atau
»        Komposisi faktor produksi yang bagaimana seorang muslim untuk meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan untuk mencapai suatu tingkat produksi tertentu?
            Di dalam memikirkan aspek yang kedua, sebagai seorang muslim harus memperhatikan:
»        Besarnya pembayaran kepada faktor produksi tambahan yang akan digunakan dan
»        Besarnya pertambahan hasil penjualan yang diwujudkan oleh faktor produksi yang ditambah tersebut.
B.     Tujuan produksi
            Tujuan produksi adalah menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan individu dan kesejahteraan kolektif. Setiap muslim harus bekerja secara maksimal dan optimal, sehingga tidak hanya dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi harus dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi harus dapat mencukupi kebutuhan anak dan keluarganya.
            Menurut chapra tujuan produksi adalah memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dan menjamin setiap orang yang mempunyai standar hidup manusiawi, terhormat dan sesuai engan martabat manusia sebagai khalifah.
C.    Faktor Produksi
Di kalangan para ekonomi Muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor produksi, karena terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Menurut Al-Maududi dan Abu-Su’ud, faktor produksi terdiri atas amal/kerja (labor), tanah (land), dan modal (capital). Uraian ini berbeda dengan M.A. Mannan yang menyatakan bahwa faktor produksi hanya berupa amal/kerja dan tanah. Menurutnya capital (modal) bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, karena capital (modal) bukanlah merupakan faktor dasar. Menerut An-Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen, yaitu amal (labor) dan capital. Abu Sulaiman menyatakan, amal bukanlah merupakan faktor produksi. Dalam syariah islam, dasar hukum transaksi (muamalah) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukannya larangan dalam nash atau dalil.
a.      Amal/Kerja (Labor)
Amal adalah segala daya dan upaya yang dicurahkan dalam menghasilkan dan menigkatkan kegunaan barang dan jasa, baik dalam bentuk teoretis (pemikiran, ide, konsep) maupun aplikatif (tenaga, gerakan) yang sesuai dengan syariah. Pada dasarnya, ada dua tujuan yang harus dicapai oleh produsen dalam melakukan pekerjaan, yaitu materialisme dengan konotasi ultinity, dan spiritualisme dengan konotasi ibadah.
b.      Bumi/Tanah (Land)
Land (tanah) meliputi segala sesuatu yang ada di dalam dan di luar ataupun disekitar bumi yang menjadi sumber-sumber ekonomi, seperti pertambangan, pasir, tanah pertanian, sungai dan lain sebagainnya. Bumi biasa diberdayakan untuk pertanian, perternakan, pendirian kawasan industry, perdagangan, sarana transportasi, ataupun pertambangan.
Mekanisme pemberdayaan bumi, ulama fiqh berbeda pendapat tentang mekanisme pemberdayaan lahan pertanian oleh orang lain dan penentuan return yang berhak diperoleh masing-masing pihak. Sebagian berpendapat, bahwa mekanisme yang tepat adalah muzara’ah. Akan tetapi, ulama yang lain menolaknya dan menawarkan konsep penyewaan dengan sistem uang.
Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik tanah memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara  Dengan imbalan bagian tertentu, misalnya setengah atau sepertiga dari hasil panen sesuai dengan kesepakatan.
c.       Modal (Capital)
Capital adalah bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti mesin, alat produksi, equipment (peralatan), gedung, fasilitas kantor, transportasi dan lain sebagainya. Dalam kapitalisme capital berhak mendapat bunga sebagai kompensasi pinjaman (return of loans).
Berdasarkan jangka waktu penggunaan capital, asset (kekayaan) biasa dibedakan menjadi dua macam, yaitu fixed asset (asset tetap) dan variabel asset (asset berubah). Fised asset adalah capital yang digunakan untuk beberapa proses produksi dan tidak terjadi perubahan seperti bangunan, mesin, dan peralatan. Variabel asset adalah capital yang digunakan untuk proses produksi dan akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan proses produksi yang dilakukan seperti labor, sumber energi, dan lainnya.
D.     prinsip produksi
a.       Berproduksi dalam lingkaran halal
Dalam sistem ekonomi islam tidak semua barang dapat diproduksi dan konsumsi. Oleh sebab itu, dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang haram. Produk yang dihasilkan harus memberikan manfaat yang baik, tidak mudharat atau membahayakan bagi konsumen. Baik dari sisi kesehatan maupun modal, seperti hadits nabi dari ibnu majah:
“wahai manusia, bertakwalah pada Allah, berbuatlah yang indah dalam mencari rezeki, sesungguhnya setiap orang tidak aan mati sampai dicukupi rezekinya sekalipun terlambat, maka bertakwalah pada Allah, berbuatlah yang indah dalam mencari rezeki, ambil yang halal jauhi yang haram.
b.      Menjaga sumber produksi
Kewajiban setiap muslim adalah memelihara lingkungan termasuk sumber-sumber produksi, dan tidak boleh berlebihan dalam mempergunakannya. Begitupun dengan tanah dan kekayaan yang terkandung didalamnya, harus dipergunakan dengan cara yang baik dan hemat, ddemi keberlangsungan semua generasi.
Daftar pustaka
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Yogyakarta. 2007
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, UIN- Malang Press, Malng.2008 


Penerapan Strategi Pemasaran dalam Perspektif Islam


Penerapan Strategi Pemasaran dalam Perspektif Islam

           
            MA. Mannan (1992:369) dalam bukunya Ekonomi Islam “Teori & Praktek” menjelaskan bahwa Islam memberikan suatu sintesis dan rencana yang dapat direalisasikan melalui rangsangan dan bimbingan. Perencanaan tidak lain daripada memanfaatkan “karunia Allah” secara sistematik untuk mencapai tujuan tertentu, dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat dan nilai kehidupan yang berubah-ubah dalam arti yang lebih luas, perencanaan menyangkut persiapan menyusun rancangan untuk setiap kegiatan ekonomi. Konsep modern tentang perencanaan, yang harus dipahami dalam arti terbatas, diakui dalam Islam. Karena perencanaan seperti itu mencakup pemanfaatan sumber yang disediakan oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya untuk kehidupan dan kesenangan manusia.
            Meskipun belum diperoleh bukti tentang adanya sesuatu pembahasan sistematik tentang masalah tersebut, namun berbagai perintah dalam Al —quran dan Sunnah menegaskan hal mi. Dalam Al-Qur’ an tercantum: (Q.S. Al .Jumu ‘ah, 62:10)
Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al .Jumu ‘ah, 62:10)

Dalam ayat diatas dapat dijelaskan makna dalam kata “carilah karunia Allah” yang digunakan didalamnya dimaksudkan untuk segala usaha halal yang melibatkan orang untuk memenuhi kebutuhannya.

            Disamping itu di dalam pelaksanaan rencana pemasaran dalam Islam kita tergantung pada prinsip syarikat (kerjasama) yang telah diakui secara universal (MA. Mannan, 1992 371) ini berarti bahwa pelaksanaan perencanaan dilaksanakan melalui partisipasi sektor pemerintah dan swasta atas dasar kemitraan, yaitu dapat terlaksana melalui prinsip abadi mudhorobah, dimana tenaga kerja dan pemilik modal dapat disatukan sebagai mitra. Dalam arti dengan mempraktekkan prinsip mudhorobah dan dengan mengkombinasikan berbagai unit produksi maka proyek industri, perdagangan dan pertanian dalam kerangka perencanaan dapat diterapkan atas dasar prinsip tersebut. Pendapatan yang dihasilkan oleh usaha seperti itu dapat dibagi secara sebanding setelah dikurangi dengan segala pengeluaran yang sah.
            Di Dalam sistem perencanaan Islam, kemungkinan rugi sangat kecil karena sebagai hasil kerjasama antara sektor pemerintahan dan swasta maka adanya investasi yang sehat akan mendorong kelancaran arus kemajuan ekonomi menjadi lebih banyak.
            Dan dalam melaksanakan kegiatan pemasarari sudah barang tentu lebih dahulu menyusun perencanaan strategis yang disusun memberi arah terhadap kegiatan perusahaan yang menyeluruh harus didukung dengan rencana pelaksanaan yang lebih rinci dalam bidang-bidang kegiatan yang terdapat dalam perusahaan.
            Di dalam Islam bukanlah suatu larangan, bila hamba-hambanya mempunyai rencana atau keinginan untuk berhasil dalam usahanya. Namun dengan syarat rencana itu tidak bertentangan dengan ajaran (syariat) Islam.
Ditandaskan dalam Al- Qur’an: Q.S. An-Najm, 53:24-25
Artinya: “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang diciptakannya ? Tidak, maka hanya bagi Allah kehidupan akherat dan kehidupan dunia (Q.S. An-Najm, 53:24-25)

            Dari kedua ayat tersebut diatas bila dihubungkan dengan strategi pemasaran, maka kegiatan strategi (rencana) pemasaran merupakan suatu interaksi yang berusaha untuk menciptakan atau mencapai sasaran pemasaran seperti yang diharapkan untuk mencapai keberhasilan dan dimana sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun yang sudah kita rencanakan, berhasil atau tidaknya pada ketentuan Tuhan (Allah). Dan didalam pelaksanaan suatu perencanaan dalam Islam haruslah bergerak kearah suatu sintesis yang wajar antara pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial melalui penetapan kebijaksanaan yang pragmatik, namun konsisten dengan jiwa Islam yang mana tidak terlepas dengan tuntunan al-Quran dan Hadits, juga sesuai dengan kode etik ekonomi Islam.

            Disamping itu didalam kegiatan perdagangan (muamalah), Islam melarang adanya unsur manipulasi (penipuan), sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip oleh MA. Mannan (1997:296) yang artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari banyak bersumpah dalam penjualan, karena sesungguhnya ía memanipulasi (iklan dagang) kemudian menghilangkan keberkahan. ”(HR. Muslim, An-Nasa’i dan lhnu Majah).
            Islam menganjurkan pada umatnya dalam memasarkan atau mempromosikan produk dan menetapkan harga tdak boleh berbohong harus berkata jujur (benar). Oleh sebab itu, salah satu karakter berdagang yang terpenting dan diridhoi oleh Allah SWT adalah kebenaran. Sebagaimana dituangkan dalam hadits (Qardhawi, 1997:175) yang artinya: Pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para Nabi, orang-orang benar (siddiqin), dan para syuhada’ di Surga. (HR. Turmudzi).

            Pada dasarnya ada tiga unsur etika yang harus dilaksanakan oleh seorang produsen muslim yaitu bersifat jujur, amanat dan nasehat. Jujur yang dimaksud disini adalah tidak ada unsur penipuan misalkan dalam promosi/harga. Amanat dan nasehat bahwa seorang produsen dipercaya memberikan yang terbaik dalam produksinya, sehingga membawa kebaikan dalam penggunaannya (Qardhawi, 1997:l75).

PEMASARAN ISLAMI

            Pasar syariah adalah pasar yang emosional (emotional market) dimana orang tertarik karena alasan keagamaan bukan karena keuntungan finansial semata, sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rational market) yaitu orang-orang cenderung berbisnis hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya tidak peduli apakah itu halal atau haram.
Praktik bisnis dan pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual (rasional) ke emosional dan akhirnya ke spiritual. Pada akhirnya konsumen akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai-nilai spiritual yang diyakininya.
            Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting, positioning, marketing-mix, branding, dan sebagainya. Kemudian di level emosional, kemampuan pemasar memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Disini pelanggan dilihat sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan emosi dan perasaannya. Beberapa konsep pemasaran yang ada pada level emosional ini antara lain experiential marketing dan emotional branding. Setelah banyak terjadi skandal keuangan, era pemasaran telah bergeser lagi kearah spiritual marketing. Pada level ini pemasaran sudah disikapi sebagai “bisikan nurani” dan “panggilan jiwa”, prinsip-prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian terhadap sesama menjadi sangat dominan.
            Dalam bahasa syariah, spiritual mareketing adalah tingkatan “pemasaran langit”, yang karena didalam keseluruhan prosesnya tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah, ia mengandung nilai-nilai ibadah, yang menjadikannya berada pada puncak tertinggi dalam pemasaran atau muamalah.
Ya Allah aku berikrar, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. QS Al-An’am (6): 162.
            Dalam syariah marketing, bisnis yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insya Allah menjadi nilai ibadah di hadapan Allah swt. Ini akan menjadi bibit dan modal dasar baginya untuk tumbuh menjadi bisnis yang besar, yang memiliki spiritual brand, yang memiliki karisma, keunggulan, dan keunikan yang tak tertandingi.
            Faktor sipritual merupakan faktor kunci terakhir yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan. Seorang pemimpin harus memiliki empat style, yaitu Pathfinding (perintisan), Aligning (penyelarasan), Empowering (pemberdayaan), dan Modeling (panutan). Pada bagian akhir disebutkan pemimpin harus menjadi panutan, maksudnya adalah pemimpin harus mampu menyatukan kata dengan perbuatan, dan pemimpin adalah orang yang layak dipercaya (jujur).
Allah berfirman,
dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”. QS As-Syu’ara’ (26): 183.
            Konsep keadilan ekonomi dalam Islam mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak atau bagian orang lain. Rasulullah bersabda; “Wahai manusia, takutlah akan kedzaliman (ketidakadilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada hari pembalasan nanti” (HR Imam Ahmad). Karena itu, pengelola bisnis yang didasarkan atas semangat spiritual, di masa depan akan menjadi suatu kebutuhan bagi para pelaku profesional.
Bisnis berlandaskan syariah sangat mengedepankan sikap dan perilaku yang simpatik, selalu bersikap bersahabat dengan orang lain, dan orang lainpun dengan mudah bersahabat dan bermitra dengan kita. Rasulullah pernah bersabda; “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati (sopan) pada saat dia menjual, membeli, atau saat dia menuntut haknya” .

Allah berfirman:“dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. QS Luqman (31): 18-19.
            Suatu bisnis, sekalipun bergerak dalam bisnis yang berhubungan dengan agama, jika tidak mampu memberikan kebahagiaan kepada semua pihak, berarti belum melaksanakan spiritual marketing. Sebaliknya, jika dalam berbisnis kita sudah mampu memberikan kebahagiaan, menjalankan kejujuran, dan keadilan, sesungguhnya kita telah menjalankan spiritual marketing, apapun bidang yang kita geluti.
            Ada 4 karakteristik Pemasaran Islami (syariah marketing) yang dapat menjadi panduan bagi para pemasar sebagai berikut:
  1. Teistis (rabaniyyah)
  2. . Etis (akhlaqiyyah)
  3. . Realistis (al-waqi’iyyah)
  4. . Humanistis (insaniyyah)
  5. Teistis (Rabbaniyyah)


Salah satu ciri khas syariah marketing yang tidak dimiliki dalam pemasaran konvensional yang dikenal selama ini adalah sifat yang religius (dinniyah). Kondisi ini tercipta tidak karena keterpaksaan, tetapi berangkat dari kesadaran akan nilai-nilai religius, yang dipandang penting dan mewarnai aktivitas pemasaran agar tidak terperosok kedalam perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Jiwa seorang syariah marketer menyakini bahwa hukum-hukum syariat yang teistis atau bersifat ketuhanan ini adalah hukum yang paling sempurna. seorang syariah marketer meyakini bahwa Allah swt. selalu dekat dan mengawasinya ketika dia sedang melaksanakan segala macam bentuk bisnis. Dia pun yakin bahwa Allah swt. akan meminta pertanggung jawaban darinya atas pelaksanaan syariat itu pada hari ketika semua dikumpulkan untuk diperlihatkan amal-amalnya (di hari kiamat).
Etis (Akhlaqiyyah)
Sifat etis ini sebenarnya merupakan turunan dari sifat teistis. Dengan demikian, syariah marketing adalah konsep pemasaran yang sangat mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli apapun agamanya. Karena nilai etika adalah nilai yang bersifat universal, yang diajarkan oleh semua agama.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah swt. memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya yang meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik akidah, akhlak (moral, etika), maupun syariah. Dua komponen pertama, akidah dan akhlak bersifat konstan, keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban manusia, yang berbeda-beda sesuai dengan rasulnya masing-masing.

Realistis (Al-Waqi’iyyah)Syariah marketing bukanlah konsep yang eksklusif, fanatis, anti-modernitas, dan kaku. Syariah marketing adalah konsep pemasaran yang fleksibel, sebagaimana keluwesan syariah Islamiyah yang melandasinya.
Syariah marketer bukanlah berarti para pemasar itu harus berpenampilan ala bangsa Arab dan mengharamkan dasi karena dianggap merupakan simbol masyarakat barat. Syariah marketer adalah para pemasar profesional dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apapun model atau gaya berpakaian yang dikenakannya. Mereka bekerja dengan profesional dan mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, aspek moral, dan kejujuran dalam segala aktivitas pemasarannya.
Humanistis (Al-insaniyyah)Humanistis (Al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Dengan memiliki nilai humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukan menjadi manusia yang bahagia diatas penderitaan orang lain atau manusia yang kering dengan kepedulian sosial.
Syariat Islam adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan, dan status. Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariat humanistis universal.

Sumber:
Hermawan Kartajaya, Muhammad Syakir Sula: Syariah Marketing, MarkPlus&Co., Mizan Pustaka, Bandung, 2006.