Penerapan Strategi Pemasaran dalam
Perspektif Islam
MA. Mannan (1992:369) dalam bukunya
Ekonomi Islam “Teori & Praktek” menjelaskan bahwa Islam memberikan suatu
sintesis dan rencana yang dapat direalisasikan melalui rangsangan dan
bimbingan. Perencanaan tidak lain daripada memanfaatkan “karunia Allah” secara
sistematik untuk mencapai tujuan tertentu, dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat dan nilai kehidupan yang berubah-ubah dalam arti yang lebih luas,
perencanaan menyangkut persiapan menyusun rancangan untuk setiap kegiatan
ekonomi. Konsep modern tentang perencanaan, yang harus dipahami dalam arti
terbatas, diakui dalam Islam. Karena perencanaan seperti itu mencakup
pemanfaatan sumber yang disediakan oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya untuk
kehidupan dan kesenangan manusia.
Meskipun belum diperoleh bukti
tentang adanya sesuatu pembahasan sistematik tentang masalah tersebut, namun
berbagai perintah dalam Al —quran dan Sunnah menegaskan hal mi. Dalam Al-Qur’
an tercantum: (Q.S. Al .Jumu ‘ah, 62:10)
Artinya:
“Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(Q.S. Al .Jumu ‘ah, 62:10)
Dalam ayat diatas dapat dijelaskan makna dalam kata “carilah karunia Allah” yang digunakan didalamnya dimaksudkan untuk segala usaha halal yang melibatkan orang untuk memenuhi kebutuhannya.
Disamping itu di dalam pelaksanaan rencana pemasaran dalam Islam kita tergantung pada prinsip syarikat (kerjasama) yang telah diakui secara universal (MA. Mannan, 1992 371) ini berarti bahwa pelaksanaan perencanaan dilaksanakan melalui partisipasi sektor pemerintah dan swasta atas dasar kemitraan, yaitu dapat terlaksana melalui prinsip abadi mudhorobah, dimana tenaga kerja dan pemilik modal dapat disatukan sebagai mitra. Dalam arti dengan mempraktekkan prinsip mudhorobah dan dengan mengkombinasikan berbagai unit produksi maka proyek industri, perdagangan dan pertanian dalam kerangka perencanaan dapat diterapkan atas dasar prinsip tersebut. Pendapatan yang dihasilkan oleh usaha seperti itu dapat dibagi secara sebanding setelah dikurangi dengan segala pengeluaran yang sah.
Dalam ayat diatas dapat dijelaskan makna dalam kata “carilah karunia Allah” yang digunakan didalamnya dimaksudkan untuk segala usaha halal yang melibatkan orang untuk memenuhi kebutuhannya.
Disamping itu di dalam pelaksanaan rencana pemasaran dalam Islam kita tergantung pada prinsip syarikat (kerjasama) yang telah diakui secara universal (MA. Mannan, 1992 371) ini berarti bahwa pelaksanaan perencanaan dilaksanakan melalui partisipasi sektor pemerintah dan swasta atas dasar kemitraan, yaitu dapat terlaksana melalui prinsip abadi mudhorobah, dimana tenaga kerja dan pemilik modal dapat disatukan sebagai mitra. Dalam arti dengan mempraktekkan prinsip mudhorobah dan dengan mengkombinasikan berbagai unit produksi maka proyek industri, perdagangan dan pertanian dalam kerangka perencanaan dapat diterapkan atas dasar prinsip tersebut. Pendapatan yang dihasilkan oleh usaha seperti itu dapat dibagi secara sebanding setelah dikurangi dengan segala pengeluaran yang sah.
Di Dalam sistem perencanaan Islam,
kemungkinan rugi sangat kecil karena sebagai hasil kerjasama antara sektor pemerintahan
dan swasta maka adanya investasi yang sehat akan mendorong kelancaran arus
kemajuan ekonomi menjadi lebih banyak.
Dan dalam melaksanakan kegiatan
pemasarari sudah barang tentu lebih dahulu menyusun perencanaan strategis yang
disusun memberi arah terhadap kegiatan perusahaan yang menyeluruh harus
didukung dengan rencana pelaksanaan yang lebih rinci dalam bidang-bidang
kegiatan yang terdapat dalam perusahaan.
Di dalam Islam bukanlah suatu
larangan, bila hamba-hambanya mempunyai rencana atau keinginan untuk berhasil
dalam usahanya. Namun dengan syarat rencana itu tidak bertentangan dengan
ajaran (syariat) Islam.
Ditandaskan
dalam Al- Qur’an: Q.S. An-Najm, 53:24-25
Artinya: “Atau
apakah manusia akan mendapat segala yang diciptakannya ? Tidak, maka hanya bagi
Allah kehidupan akherat dan kehidupan dunia (Q.S. An-Najm, 53:24-25)
Dari kedua ayat tersebut diatas bila dihubungkan dengan strategi pemasaran, maka kegiatan strategi (rencana) pemasaran merupakan suatu interaksi yang berusaha untuk menciptakan atau mencapai sasaran pemasaran seperti yang diharapkan untuk mencapai keberhasilan dan dimana sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun yang sudah kita rencanakan, berhasil atau tidaknya pada ketentuan Tuhan (Allah). Dan didalam pelaksanaan suatu perencanaan dalam Islam haruslah bergerak kearah suatu sintesis yang wajar antara pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial melalui penetapan kebijaksanaan yang pragmatik, namun konsisten dengan jiwa Islam yang mana tidak terlepas dengan tuntunan al-Quran dan Hadits, juga sesuai dengan kode etik ekonomi Islam.
Disamping itu didalam kegiatan perdagangan (muamalah), Islam melarang adanya unsur manipulasi (penipuan), sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip oleh MA. Mannan (1997:296) yang artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari banyak bersumpah dalam penjualan, karena sesungguhnya ía memanipulasi (iklan dagang) kemudian menghilangkan keberkahan. ”(HR. Muslim, An-Nasa’i dan lhnu Majah).
Dari kedua ayat tersebut diatas bila dihubungkan dengan strategi pemasaran, maka kegiatan strategi (rencana) pemasaran merupakan suatu interaksi yang berusaha untuk menciptakan atau mencapai sasaran pemasaran seperti yang diharapkan untuk mencapai keberhasilan dan dimana sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun yang sudah kita rencanakan, berhasil atau tidaknya pada ketentuan Tuhan (Allah). Dan didalam pelaksanaan suatu perencanaan dalam Islam haruslah bergerak kearah suatu sintesis yang wajar antara pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial melalui penetapan kebijaksanaan yang pragmatik, namun konsisten dengan jiwa Islam yang mana tidak terlepas dengan tuntunan al-Quran dan Hadits, juga sesuai dengan kode etik ekonomi Islam.
Disamping itu didalam kegiatan perdagangan (muamalah), Islam melarang adanya unsur manipulasi (penipuan), sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip oleh MA. Mannan (1997:296) yang artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari banyak bersumpah dalam penjualan, karena sesungguhnya ía memanipulasi (iklan dagang) kemudian menghilangkan keberkahan. ”(HR. Muslim, An-Nasa’i dan lhnu Majah).
Islam menganjurkan pada umatnya
dalam memasarkan atau mempromosikan produk dan menetapkan harga tdak boleh
berbohong harus berkata jujur (benar). Oleh sebab itu, salah satu karakter
berdagang yang terpenting dan diridhoi oleh Allah SWT adalah kebenaran.
Sebagaimana dituangkan dalam hadits (Qardhawi, 1997:175) yang artinya: Pedagang
yang benar dan terpercaya bergabung dengan para Nabi, orang-orang benar
(siddiqin), dan para syuhada’ di Surga. (HR. Turmudzi).
Pada dasarnya ada tiga unsur etika yang harus dilaksanakan oleh seorang produsen muslim yaitu bersifat jujur, amanat dan nasehat. Jujur yang dimaksud disini adalah tidak ada unsur penipuan misalkan dalam promosi/harga. Amanat dan nasehat bahwa seorang produsen dipercaya memberikan yang terbaik dalam produksinya, sehingga membawa kebaikan dalam penggunaannya (Qardhawi, 1997:l75).
Pada dasarnya ada tiga unsur etika yang harus dilaksanakan oleh seorang produsen muslim yaitu bersifat jujur, amanat dan nasehat. Jujur yang dimaksud disini adalah tidak ada unsur penipuan misalkan dalam promosi/harga. Amanat dan nasehat bahwa seorang produsen dipercaya memberikan yang terbaik dalam produksinya, sehingga membawa kebaikan dalam penggunaannya (Qardhawi, 1997:l75).
PEMASARAN
ISLAMI
Pasar syariah adalah pasar yang
emosional (emotional market) dimana orang tertarik karena alasan keagamaan
bukan karena keuntungan finansial semata, sedangkan pasar konvensional adalah
pasar yang rasional (rational market) yaitu orang-orang cenderung berbisnis
hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya tidak peduli
apakah itu halal atau haram.
Praktik bisnis dan pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual (rasional) ke emosional dan akhirnya ke spiritual. Pada akhirnya konsumen akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai-nilai spiritual yang diyakininya.
Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting, positioning, marketing-mix, branding, dan sebagainya. Kemudian di level emosional, kemampuan pemasar memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Disini pelanggan dilihat sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan emosi dan perasaannya. Beberapa konsep pemasaran yang ada pada level emosional ini antara lain experiential marketing dan emotional branding. Setelah banyak terjadi skandal keuangan, era pemasaran telah bergeser lagi kearah spiritual marketing. Pada level ini pemasaran sudah disikapi sebagai “bisikan nurani” dan “panggilan jiwa”, prinsip-prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian terhadap sesama menjadi sangat dominan.
Dalam bahasa syariah, spiritual mareketing adalah tingkatan “pemasaran langit”, yang karena didalam keseluruhan prosesnya tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah, ia mengandung nilai-nilai ibadah, yang menjadikannya berada pada puncak tertinggi dalam pemasaran atau muamalah.
Praktik bisnis dan pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual (rasional) ke emosional dan akhirnya ke spiritual. Pada akhirnya konsumen akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai-nilai spiritual yang diyakininya.
Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting, positioning, marketing-mix, branding, dan sebagainya. Kemudian di level emosional, kemampuan pemasar memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Disini pelanggan dilihat sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan emosi dan perasaannya. Beberapa konsep pemasaran yang ada pada level emosional ini antara lain experiential marketing dan emotional branding. Setelah banyak terjadi skandal keuangan, era pemasaran telah bergeser lagi kearah spiritual marketing. Pada level ini pemasaran sudah disikapi sebagai “bisikan nurani” dan “panggilan jiwa”, prinsip-prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian terhadap sesama menjadi sangat dominan.
Dalam bahasa syariah, spiritual mareketing adalah tingkatan “pemasaran langit”, yang karena didalam keseluruhan prosesnya tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah, ia mengandung nilai-nilai ibadah, yang menjadikannya berada pada puncak tertinggi dalam pemasaran atau muamalah.
“Ya Allah aku berikrar, sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam”. QS Al-An’am (6): 162.
Dalam syariah marketing, bisnis yang
disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah, maka
seluruh bentuk transaksinya insya Allah menjadi nilai ibadah di hadapan Allah
swt. Ini akan menjadi bibit dan modal dasar baginya untuk tumbuh menjadi bisnis
yang besar, yang memiliki spiritual brand, yang memiliki karisma, keunggulan,
dan keunikan yang tak tertandingi.
Faktor sipritual merupakan faktor kunci terakhir yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan. Seorang pemimpin harus memiliki empat style, yaitu Pathfinding (perintisan), Aligning (penyelarasan), Empowering (pemberdayaan), dan Modeling (panutan). Pada bagian akhir disebutkan pemimpin harus menjadi panutan, maksudnya adalah pemimpin harus mampu menyatukan kata dengan perbuatan, dan pemimpin adalah orang yang layak dipercaya (jujur).
Allah berfirman,
Faktor sipritual merupakan faktor kunci terakhir yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan. Seorang pemimpin harus memiliki empat style, yaitu Pathfinding (perintisan), Aligning (penyelarasan), Empowering (pemberdayaan), dan Modeling (panutan). Pada bagian akhir disebutkan pemimpin harus menjadi panutan, maksudnya adalah pemimpin harus mampu menyatukan kata dengan perbuatan, dan pemimpin adalah orang yang layak dipercaya (jujur).
Allah berfirman,
“dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
QS As-Syu’ara’ (26): 183.
Konsep keadilan ekonomi dalam Islam
mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak atau
bagian orang lain. Rasulullah bersabda; “Wahai manusia, takutlah akan
kedzaliman (ketidakadilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada
hari pembalasan nanti” (HR Imam Ahmad). Karena itu, pengelola bisnis yang
didasarkan atas semangat spiritual, di masa depan akan menjadi suatu kebutuhan
bagi para pelaku profesional.
Bisnis berlandaskan syariah sangat mengedepankan sikap dan perilaku yang simpatik, selalu bersikap bersahabat dengan orang lain, dan orang lainpun dengan mudah bersahabat dan bermitra dengan kita. Rasulullah pernah bersabda; “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati (sopan) pada saat dia menjual, membeli, atau saat dia menuntut haknya” .
Bisnis berlandaskan syariah sangat mengedepankan sikap dan perilaku yang simpatik, selalu bersikap bersahabat dengan orang lain, dan orang lainpun dengan mudah bersahabat dan bermitra dengan kita. Rasulullah pernah bersabda; “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang murah hati (sopan) pada saat dia menjual, membeli, atau saat dia menuntut haknya” .
Allah
berfirman:“dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. QS Luqman
(31): 18-19.
Suatu bisnis, sekalipun bergerak dalam bisnis yang berhubungan dengan agama, jika tidak mampu memberikan kebahagiaan kepada semua pihak, berarti belum melaksanakan spiritual marketing. Sebaliknya, jika dalam berbisnis kita sudah mampu memberikan kebahagiaan, menjalankan kejujuran, dan keadilan, sesungguhnya kita telah menjalankan spiritual marketing, apapun bidang yang kita geluti.
Suatu bisnis, sekalipun bergerak dalam bisnis yang berhubungan dengan agama, jika tidak mampu memberikan kebahagiaan kepada semua pihak, berarti belum melaksanakan spiritual marketing. Sebaliknya, jika dalam berbisnis kita sudah mampu memberikan kebahagiaan, menjalankan kejujuran, dan keadilan, sesungguhnya kita telah menjalankan spiritual marketing, apapun bidang yang kita geluti.
Ada 4 karakteristik Pemasaran Islami
(syariah marketing) yang dapat menjadi panduan bagi para pemasar sebagai
berikut:
- Teistis (rabaniyyah)
- . Etis (akhlaqiyyah)
- . Realistis (al-waqi’iyyah)
- . Humanistis (insaniyyah)
- Teistis (Rabbaniyyah)
Salah satu ciri khas syariah marketing yang tidak dimiliki dalam
pemasaran konvensional yang dikenal selama ini adalah sifat yang religius
(dinniyah). Kondisi ini tercipta tidak karena keterpaksaan, tetapi berangkat
dari kesadaran akan nilai-nilai religius, yang dipandang penting dan mewarnai
aktivitas pemasaran agar tidak terperosok kedalam perbuatan yang dapat
merugikan orang lain.
Jiwa seorang syariah marketer menyakini bahwa hukum-hukum syariat yang
teistis atau bersifat ketuhanan ini adalah hukum yang paling sempurna. seorang
syariah marketer meyakini bahwa Allah swt. selalu dekat dan mengawasinya ketika
dia sedang melaksanakan segala macam bentuk bisnis. Dia pun yakin bahwa Allah
swt. akan meminta pertanggung jawaban darinya atas pelaksanaan syariat itu pada
hari ketika semua dikumpulkan untuk diperlihatkan amal-amalnya (di hari
kiamat).
Etis (Akhlaqiyyah)
Etis (Akhlaqiyyah)
Sifat etis ini sebenarnya merupakan turunan dari sifat
teistis. Dengan demikian, syariah marketing adalah konsep pemasaran yang sangat
mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli apapun agamanya. Karena
nilai etika adalah nilai yang bersifat universal, yang diajarkan oleh semua agama.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah swt. memberikan
petunjuk melalui para rasul-Nya yang meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan
manusia, baik akidah, akhlak (moral, etika), maupun syariah. Dua komponen
pertama, akidah dan akhlak bersifat konstan, keduanya tidak mengalami perubahan
apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah senantiasa berubah
sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban manusia, yang berbeda-beda sesuai
dengan rasulnya masing-masing.
Realistis (Al-Waqi’iyyah)Syariah marketing bukanlah
konsep yang eksklusif, fanatis, anti-modernitas, dan kaku. Syariah marketing
adalah konsep pemasaran yang fleksibel, sebagaimana keluwesan syariah Islamiyah
yang melandasinya.
Syariah marketer bukanlah berarti para pemasar itu
harus berpenampilan ala bangsa Arab dan mengharamkan dasi karena dianggap
merupakan simbol masyarakat barat. Syariah marketer adalah para pemasar
profesional dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apapun model
atau gaya berpakaian yang dikenakannya. Mereka bekerja dengan profesional dan
mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, aspek moral, dan kejujuran dalam
segala aktivitas pemasarannya.
Humanistis (Al-insaniyyah)Humanistis (Al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Dengan memiliki nilai humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukan menjadi manusia yang bahagia diatas penderitaan orang lain atau manusia yang kering dengan kepedulian sosial.
Syariat Islam adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan, dan status. Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariat humanistis universal.
Sumber:
Hermawan Kartajaya, Muhammad Syakir Sula: Syariah Marketing, MarkPlus&Co., Mizan Pustaka, Bandung, 2006.
Humanistis (Al-insaniyyah)Humanistis (Al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Dengan memiliki nilai humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukan menjadi manusia yang bahagia diatas penderitaan orang lain atau manusia yang kering dengan kepedulian sosial.
Syariat Islam adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan, dan status. Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariat humanistis universal.
Sumber:
Hermawan Kartajaya, Muhammad Syakir Sula: Syariah Marketing, MarkPlus&Co., Mizan Pustaka, Bandung, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar